Memastikan Saya Tidak Terpapar Virus Corona

masnunung - Sudah empat hari batuk berdahak, pilek, dan dua hari terakhir jika sujud saat salat kepala rasanya sakit. Wah deg-degan juga ketika beberapa orang menanyakan saya fluk kok nggak sembuh-sembuh. Tahukah sobat apa yang saya pikirkan? Penyakit yang saat ini tengah menghantui warga dunia, corona.

Berkali-kali saya membuka artikel di internet, juga tayangan televisi. Setiap sesuatu yang mengandung informasi tentang virus corona saya baca, tonton. Saya merasa hanya pilek dan batuk biasa lantaran tidak demam. Sementara salah satu gejala terpapar virus corona ialah demam.

obat radang tenggorok
Obat dari klinik yang harus saya minum. Foto - masnunung
Namun demikian saya tetap khawatir. Di tempat kerja, saya sengaja memilih duduk berlama-lama di belakang komputer, karena tidak enak ketika tengah ngobrol dengan seseorang tiba-tiba terbatuk-batuk. Dan batuk saya kali ini berdahak. Usai uhuk-uhuk, terasa cairan kental di tenggorokan yang mau tak mau harus diludahkan.

Saat baru dua hari flu atau pilek, saya salat Isya berjemaah di sebuah masjid di Bintan Centre. Saat ruku masihlah bisa saya tarik nafas melalui hidung, mengeluarjan bunyi srut. Sebuah upaya agar cairan kental dari kubang hidung saya tidak terjatuh ke sajadah.

Dan saya harus benar-benar sabar tatkala bersujud. Saat itulah saya tarik nafas keras-keras. Berharap suaranya agak berkurang karena membungkuk penuh dengan hidung menyentuh sajadah panjang. Sruuut.... alhamdulillah bisa saya tahan sampai salam.

Selepas salam saya lamcing kalau saya ambil istilah ayah saya almarhum. Lamcing atau bar salam mlencing yang artinya usai salam langsung pergi. Saya bergegas ke tempat wudu, menyalakan salah satu keran airnya. Saat airnya mengucur saya pun hentakkan nafas melalui hidung.

Dua lubang hidung saya pun seperti moncong tank yang memuntahkan peluru berupa cairan kental berwarna putih kusam. Bergumpal-gumpal.

Lubang sebelah kanan mengeluarkannya dengan lancar, membuat benda itu langsung terjatuh ke lubang pembuangan air. Sementara lubang hidung satunya agak mampet, jadi sempat menggelantung. Saya selesaikan urusab ingus tadi dengan tangan kiri. Beres... untuk beberapa menit ke depan.

Hari Minggu malam, 8 Maret 2020, selepas Isya saya mendatangi klinik dekat rumah. Saya harus memastikan bukan salah satu orang yang terpapar virus corona. Namun lebih baik saya mengantisipasinya lebih awal ketimbang terjadi hal-hak yang tidak diinginkan.

Masih ada sekirar 8 pasien yang antre untuk diperiksa dokter yang malam itu bertugas. Saya menyerahkan kartu BPJS saya, setelah sebelumnya menuliskan nomor peserta dan nomor ponsel serta tanda tanganndi buku tebal.

Setelah itu saya duduk menunggu petugas menemukan berkas arsip saya. Tak sampai 10 menit nama saya dipanggil. Seorang perawat meminta saya duduk di kursi di depannya. Ia menanyakan apa keluhan yang saya rasakan.

Saya sampaikan secara detil. Sejak kapan saya mulai batuk, jenis batuknya, saat batuk yang terasa sakit bagian mana, juga flu. Biasanya saya memberikan keterangan secukupnya. Namun entah mengapa malam itu saya merasa harus memberikan penjelasan yang cukup.

"Nnggak ada demam atau panas, Bang?" tanya perawat yang sama.

"Nggak," jawab saya.

Pertanyaan itu serasa membuat hati saya bergidik. Untunglah tak lama kemudian ia meminta saya menjulurkan lengan tangan saya ke arahnya. Antara saya dan perawat adalah meja kerja sehingga saya bisa meletakkan lengan kanan tangan di atasnya.

Perawat dengan sigap membalut bagian pangkal lengan, lalu memeriksa tekanan darah saya. Rasanya nyut nyut di dalam daging pergelangan tangan saya. Demikian juga saat perawat tadi memutar bagian pemompa dan kantung kain yang membungkus lengan tangan kanan atas saya mulai terasa mengempis.

Saya harus bertanya, apakah tekanan darah saya normal. Sebab saya lihat Si Mbak perawat agak lama memperhatikan jarum yang bergerak di peralatan yang digunakannya kepada saya.

"Normalkah saya, Mbak?'

Saya nggak berpikir untuk mengulangoi pertanyaan saya, Misalnya dengan kalimat, "Apakah tekanan darah saya normal, Mbak? atau "Bagaimana Mbak hasilnya? Apakah tak ada yang harus saya khawatirkan?"

Dengan pertanyaan normalkah saya, sepertinya kok mengandung pengertian yang justru membuat saya akhirnya tersenyum simpul sendiri. Jelas saya masih normal. Kalau nggak normal kok ya saya ingin berobat ketika beberapa hari pilek dan batuk menyerang.

Dan Si Mbak pun tertawa kecil. Ia tatap wajah saya. MUngkin mau meyakinkan saya normal hehe. Lalu ia sampaikan hasilnya 120/80 mmHg.

"Normal kok," jawabnya.

Alhamdulillaahirobbil'aalamiin, ucap saya bersyukur di dalam hati.

Tahap selanjutnya ialah saya kembali duduk di bangku panjang. Duduk bersama para pasien. Untungnya ruangannya berpendingin, membuat acara tunggu-menunggu lebih nyaman. Ada sebuah televisi uang saya rasa lebih banyak menyala ketimbang jam istirahatnya.

Ialah yang menemani para pasien saat menunggu dipanggil untuk diperiksa tekanan darahnya. Menunggu dipanggil untuk masuk ke ruang dokter. Lalu menunggu untuk mendapatkan obatnya.

Saya membuka ponsel saya, mencoba tenang. Tetapi jawaban perawat jika tekanan darah saya normal mengurangi was-was saya. Toh saya harus mendengar penjelasan langsung dari dokter yang akan memeriksa.

Virus corona memang menjadi sesuatu yang sangat sering dibicarakan saat ini. Tetapi anehnya masih saja ada orang-orang yang suka menambah beban pikiran orang lain. Saya pun jadi teringat (artikel kali ini edisi banyak teringat hehe) bagaimana ada yang mengabarkan ada 6 kota yang termasuk zona kuning virus corona.

Foto - instagram kementerian kesehatan
Pemerintah pun segera memberikan klarifikasinya bahwa itu adalah kabar burung. Kabar yang menyasatkan atau istilah zaman now itu hoaks (hoax). Apa yang nyebar kabar nggak mikir jika apa yang ditulisnya justru menjadi beban dan pikiran banyak orang, ya? Entah...

Ada kira-kira 20 menit ketika nama saya dipanggil perawat, meminta saya masuk ke ruang nomor satu. Saya berdiri, lalu berjalan menyurusi lorong ruang sebelah kiri dan sebuah pintu ruang periksa terbuka.

Saya masuk setelah memberikan sapaan selamat malam kepada dokter jaga. Seorang lelaki yang usianya sudah lebih dari 50 tahun dengan pembawaan yang kalem. Lalu ia menanyakan hal yang sama dengan yang ditanyakan perawat di depan tadi.

Oleh dokter saya diminta berbaring di kasur yang ada di ruang itu. Saya pijaki beberapa anak tangga kayu lalu rebah telentang di atas kasur. Dokter membawa senter dan stetoskop. Pertama saya diminta membuka mulut.

Haaa, saya buka mulut sambil menjulurkan lidah. Saya langsung teringat logo Rolling Store berupa mulut dengan lidah terjulur ke bawah. Apakah Mick Jagger mendapatkan ide logo itu ketika ia tengah diperiksa lubang mulutnya dengan senter oleh dokter di Inggris sana? Entah hehe.

Pak dokter menyenter bagian belakang mulut saya, yakni tenggorokan. Setelah itu ganti ia gunakan stetoskop yang ditempelkan di beberapa bagian dada saya. Saya berusaha bernafas normal. Dokter yang memeriksa saya pembawaannya diam, tak banyak bicara sehingga ekpresi wajahnya pun serius.

Ketika pemeriksaan usai, saya kembali duduk di depan dokter. Ia menuliskan resep obat yang akan diserahkan ke apoteker.

"Gejala apa, Dok?" tanya saya.

Aha, pertanyaan saya lebih bagus ketimbang saat berhadapan dengan perawat.

"Radang," jawab dokter.

Alhamdulillaah, jerit hati saya. Agak konyol juga ya, diberitahu kalau saya sakit radang tenggorokan kok malah bersyukur.

Iya, saya bersyukur sebab dinyatakan bukan suspect corona. Jadi teringat lagi beberapa waktu sebelumnya warga Natuna menolak lokasi observasi 238 WNI yang dipulangkan dari Wuhan, China. Mereka dipulangkan ke Indonesia setelah virus corona mulai menelan jiwa di Wuhan.

Saat saya keluar ruang dokter dan duduk kembali di kursi ruang tunggu, saya merasakan AC ruang kok terasa lebih dingin. Apa karena saya tidak lagi was was dan khawatir?

Nggak butuh lama, nama saya dipanggil Mbak perawat lagi. Kali ini saya disodorkan satu bungkus plastik obat. Saya belum tahu ada berapa jenis obat. Saya hanya tanyakan apakah petunjuk minumnya sudah dicantumkan semua?

"Sudah, Bang. Yang antibiotiknya mohon habiskan, ya," pesannya.

Saya pulang dan membuka obat saya, ada empat jenis. Semuanya pil, tak ada yang berbentuk kapsul. Warnanya ada yang putih, hijau muda dan merah muda. Kebetulan malam itu saya sudah makan, sesuai aturan makan obat setelah makan, maka saya pun meminumnya sekaligus empat butir. Aturannya semua 3 kali sehari @satu pil.

Senin pagi sampai petang saya tidak minum obat karena kebetulan jadwal puasa Senin Kamis. Namun saat zuhur di sebuah musala di Gang Irian Kampung Sidorejo, alhamdulillah rasa sakit di kepala sangat jauh berkurang saat sujud salat zuhur.

Dan maghrib tadi, rasa sakit di kepala alhamdulillah sudah hilang. Sujud pun jadi lebih tenang. Setelah itu saya buka kulkas dan terlihat air putih dingin yang menggoda untuk diminum.

Pelan-pelan saya tutup pintu kulkas dan saya ke rak gelas, mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air putih dari dispenser. Itu air RO yang selama ini saya dan keluarga konsumsi. Lalu saya teguk, glegek glegek glegek.... nikmat juga memasuki tenggorokan.

Merasa terlepas dari kekhawatiran usai mendapatkan penjelasan dokter. Foto - pixabay
Saya tahu masih ada sepotong es lilin yang isinya campuran susu dan kacang ijo serta gula merah di freezer. Saya juga ingat, sebelum batuk saya memakan es tersebut sambil nonton televisi.

Selamat tinggal es (semoga seterusnya). Alhadulillah dokter telah menjelaskan saya tidak terpapar virus corona. Semoga saudara-saudara saya selalu dilimpahkan kesehatan, negara ini juga sehat, sehat pemimpinnya sehat aturannya.

Bagi sobat yang ingin tahu seperti apa alur deteksi covid - 19, silakan baca penjelasan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di bawah ini.

Sehatlah Indonesia... ***


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel