Kalimat Bijaksana dari Seorang Ayah

masnunung - Ada kerinduan yang memuncak dan tiba-tiba menyeruak. Perasaan itu beberapa kali datang. Tiba-tiba. Rindu saya untuk ayah yang sudah dipanggil Tuhan Januari 2016 silam. Satu yang pasti dalam hati, betapa selama ini saya belum membuatnya bangga.

Ayah sebenarnya pribadi yang kalem. Namun jika prinsip yang diterapkannya dilanggar, tak ada ampun. Saya pernah dipukul dengan potongan ranting karena main lompat-lompatan dan kaki saya mengenai kakak perempuan saya.

Saya juga pernah diskorsing tidak boleh bermain sepeda karena tak berangkat kegiatan Pramuka. Namun ayah juga pernah menyelamatkan saya dari kemarahan ibu. Antara ayah dan ibu memang berbeda. Ibu orangnya penuh semangat, sementara ayah lebih cenderung adem ayem.

Semasa hidup, ayah rajin menyelipkan kalimat bijaksana dalam ucapanya kepada saya juga saudara-saudara

Ayah tidak banyan bicara. Namun ketika memberikan wejangan dengan kalimat - kalimat baik, ia akan serius. Sampai saat ini masih banyak nasihat yang tetap saya kenang. Ayah juga sosok pelindung yang menyayangi keluarganya.

Dahulu, ketika saya SD hampir setiap tahun kami sekeluarga berangkat ke Jakarta. Acara utamanya ialah mengantarkan tetangga satu kampung yang berangkat haji. Zaman dahulu tidak semudah sekarang. Embarkasi ada di beberapa kota.

Zaman saya SD jemaah calon haji haru berangkat dahulu ke Jakarta, keberangkatannya melalui Bandara Halim Perdana Kusumah. Seingat saya sih belum ada Bandara Soekarno Hatta. Begitu jemaah berangkat ke Arab Saudi, rombongan pengantar akan pelesiran ke Ancol, Taman Mini Indonesia Indah dan sebagainya.

Pernah suatu ketika bis yang seharusnya membawa rombongan kami ternyata tak bisa berangkat. Saya menangis sejadi-jadinya. Padahal ibu sudah menyiapkan aneka makanan selama perjalanan. Yang saya ingat ialah arem-arem dan telur rebus.

Olah ayah saya dan kakak diajak nonton bioskop di Pati untuk meredakan tangis. Begitulah ayah di mata saya.

Ayah juga pernah menantang saya dengan mengatakan, kalau seandainya saya bisa membuat layang-layang yang berbeda bentuknya dari kebanyakan yang dimainkan teman, pasti langit lebih indah. Kalimat bijaksana yang dikemas dengan penyampaian yang enak.

Kebetulan saya termasuk bocah yang kreatif. Jadi suatu hari saya pun membuatnya. Sayangnya kurang seimbang antara sisi kanan dan kiri, sementara ukuran layang-layang burung saya cukup besar. Oleh ayah, ekor layang-layang saya pun diikatkan potongan kain yang disambung-sambung hingga hampir 3 meter panjangnya.

Barulah layang-layang saya mengudara di langit kampung. Wah serunya.

Ayah selalu menyelipkan kalimat bijaksana tentang kehidupan, tentang cinta atau tentang kesabaran. Tentang cintanya yang tak hanya sesama manusia. Di sekeliling rumah, ayah menanam beragam pepohonan. Ada mangga, kedondong, kopi, pisang, rambutan, kelapa, matoa, jambu air, jambu bangkok, kopi, petai dan sebagainya. Bukti cinta ayah terhadap alam.

Tinggal sehari lagi memasuki Januari 2020. Di bulan yang sama ketika ayah meninggalkan kami semua. Masih terbayang jelas bagaimana saya dan kakak kedua mengangkat jenazah ayah dari rumah sakit menuju ambulans untuk dibawa pulang, menjelang pagi.

Di bagian belakang ambulans, saya pandangi jasad ayah. Dalam keranda, ayah tak akan pernah mengajari kami lagi di dunia. Air mata saya menetes. Dan saya benar-benar tak mampu menahannya ketika memangku jenazah ayah untuk dimandikan.

Saya merasa sangat kehilangan. Ayah yang sealu menanyakan bagaimana usaha saya, bagaimana pekerjaan saya dan bagaimana yang lain.

Sati persatu kelyar semua tentang hal baik yang dipesankan ayah. Jadilah manusia yang bisa merasa, bukan merasa bisa. Ada lagi soal rezeki yang tak akan tertukar, tentang sifat dan jiwa sosialnya.

Baca Juga: Belajar Kebaikan dari Sebuah Bengkel Mobil

Saya merindukan waktu sehabis maghrib anak-anak tetangga di kampung berdatangan ke rumah untuk belajar mengaji. Sementara seminggu dua kali, ayah memanggil ustaz ke rumah untuk mengaji tafsir Alquran. Teras rumah, ruang tamu, ruang belakang penuh dengan para tetangga.

Ayah serius jika menginginkan anak-anaknya paham soal agama. Pagi sekolah SD, sorenya madrasah di sekolah yang berbeda. Dan saya satu-satunya anak ayah yang tak sampai kelas 6 madrasah sore. Saya lebih banyak mbolos, dari rumah berangkat sekolah namun tak sampai ke madrasah. Hingga akhirnya seorang guru datang ke rumah menyampaikannya ke ayah.

Dan ayah marah besar. Saya dikurung di kamar. Dan saya membuka jendela, mengeluarkan badan di sela-sela jeruji jendela. Setidaknya satu atau dua jam saya bisa menghirup udara bebas. Lalu saya akan membuka jendela, masuk lagi dengan cara yang sama.

Seperti baru kemarin ayah pergi. Saya harus mencoba menjalankan pekerjaan rumah yang dilontarkan ayah semasa hidup: kalimat bijaksana. Semuanya menuntun ke arah hal baik. Semain usia saya bertambah, semakin saya yakini betapa sayangnya ayah pada kami. ***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel