Dari Lantai Dua Tempatku Bekerja (satu)

catatan-kaki-lantai-dua-1

Aku menjalani rutinitas yang mungkin membuat kalian bosan. Hanya seperti itu. Bahkan bisa juga disebut nggak ada perubahan.

Hanya sebuah ruko di deretan ruko yang bentuknya sama semua di bilangan Bintan Center. Kalian yang ada di luar Pulau Bintan bisa jadi nggak paham nama lokasi ini.

Bintan Canter adalah kawasan perdagangan, permukiman yang bisa diklain sebagai yang terbesar di Pulau Bintan. Di pulau ini ada tiga kantor pemerintahan.

Pemkot Tanjungpinang beribu kota di Senggarang, Pemkab Bintan beribu kota di Bintan Buyu dan Pemprov Kepri di Dompak.

Jadi, jika kalian suatu saat tugas di Pulau Bintan, meski cuma dua hari, usahakan untuk mendatangi Bintan Center. Siang atau malam hari sama saja.

Asalkan jangan dalam suasana pandemi Covid-19 seperti sekarang. Karena orang jualan dibatasi. Makan saja dibatasi. Semuanya untuk mencegah semamin banyak orang yang terpapar.

Dari lantai dua ruko tersebut saya datang setiap hari. Sebenarnya dalam seminggu ada sehari liburnya, Jumat. Namun entah mengapa saya pada hari itu juga lebih sering datang.

Saya colokkan charger laptop yang jadul. Salah satu tombol keypadnya sudah lepas. Aku congkel pakai obeng. Jangan tiru caraku, karena ini ngawur.

Awalnya nggak bisa membuat enter di halaman aplikasi menulis, seperti word dan notepad. Tiap kali ditekan enter, kursornya melompat ke baris pertama.

Bayangkan jika aku sudah menulis 1.000 kata untuk sebuah konten berupa artikel pesanan orang. Lalu editingnya amburadul. Dan ini pernah terjadi ketika awal-awal tombol keypad laptop berulah. Namun aku nggak menyadarinya.

Begitu konten kukirim melalui email, dicek sama yang pesan. (Penting: mohon selalu cek artikel buatanku kalau kalian pesan, ada banyak fator yang membuat tangan suka salah pencet).

Di atas mejaku, aku nggak pernah luma menaruh potongan kayu bekas rangka kamar. Panjangnya seukuran lebar laptop. Coba tebak, buat apa gunanya?

Buat mengganjal laptop agar bagian monitornya lebih tinggi dari tempat tanganku mengetik. Mengapa nggak pakai kipas? Sudah habis banyak kalau kipas.

Kayu tadi cukup sederhana, nggak pakai kabel. Ambil laptop dari tas, letakkan di meja, taruh kayu di bawah bagian depan. Setidaknya panas dari mesin laptop bisa keluar lewat rongga karena diberi kayu tadi.

Selain kayu ada juga kipas kecil yang bunyi awalnya berderak-derak. Kira-kira semenit keluar bunyi aneh, baru normal. BUkan kuarahkan ke wajah, melainkan ke laptop. Biar dingin.

Sementara sebuah AC yang terpasang di tengah ruang tempatku bekerja lebih sering nganggur. Paling kalau ada teman yang memang kegerahan, barulah remote AC aku tekan dan .... huenak.

Di samping kiri laptop, adalah speaker kecil yang jangan tanya mana treble atau bass-nya. Penting keluar suara. Jadi ada suara dari dalam kantorku.

Kalau aku sudah hanyut mengetik, pasti sepi. Kalaupun ada suara dari tombol keypad laptop yang kutekan, dari jarak satu meter juga sudah nggak terdengar lagi.

Satu-satunya suara ya dari speaker tadi. Colok ke laptop, buka YouTube, kanal musik maka beres. Mau berjam-jam juga lagu-lagunya mutar sendiri.

Lalu sebuah gelas alumunium menemani saat aku kerja. Isinya kalian tahu? Air putih. Takut kemanisan aku. Soalnya dari kecil paling banyak makan yang manis-manis.

Apalagi lahir dan besar di kampung, makan tebu, minum air kelapa, makan gula yang belum jadi di pabriknya, es potong, es lilin, es campur dan sebagainya. Manis semuanya.

Makanya sekarang aku menghindari yang manis-manis.

Dari lantai dua tempatku bekerja, aku bisa melihat apa yang terjadi di luar kapan saja. Seperti saat ini, ada sebuah mobil Nissan Xtrail diparkir depan pohon rindang depan ruko.

Di depannya, kira-kira berjarak 6 meter ada sebuah jeep yang agaknya pemiliknya hobi offroad. Soalnya jeepnya brondol, ditambahi besi-besi biar kokoh.

Di depan jeep ada sebuah minibus. Di samping minubus, di bawah sebuah atap ada belasan sepeda motor. Itu kendaraan member tempat ngegym yang juga satu deret dengan ruko tempat aku menghabiskan separuh hariku setiap hari.

Aku beruntung di lantai dua, karena modem sebuah operatir penyedia internet dipasang di salah satu dinding ruang kerjaku. Tetapi ada yang aneh, kalau biasanya modem masangnya berdiri tegak dengan dua antena di bagian atas, yang ini lain.

Pasangnya justru diputar 90 derajat ke kiri. Antenanya ada di sebalah kiri. Entah bagaimana itu kemarin petugas saat memasangnya. Tetapi sudahlah, toh ada juga pepatah sangat populer: apalah arti semua nama.

Sama, apalah arti posisi dan cara pasang modem internet di dinding. Yang paling penting adalah fungsinya. Karena itu aku beruntung, kalau gangguan jaringan, aku tahu pertama.

Kadang aku biarkan anak-anak muda yang ada di lantai bawah bingung karena tiba-tiba YouTubenya ngadat. Padahal lagi asyik dengerin Los Dol-nya Deny Caknan.

Lalu satu diantara mereka naik tangga. Bunyi sandalnya terdengar dari tempatku duduk. Juga saat langkah kakinya menuju ruanganku. Hanya melongok untuk melihat modem dan bertanya.

"Gangguan ya, Mas?"

"Iya," jawabku.

Aku juga beruntung di lantai dua, karena anginnya lebih kuat. Bahkan kalau sedang dingin, serasa menggunakan AC. Dari sini aku bisa melihat siapa saja yang datang ke ruko.

Siapa saja yang datang dari arah depan, melewati dua jembatan kecil akan terlihat olehku. Mau bawa mobil, motor, sepeda, sendiri, ramai-ramai.

Kecuali kalau datangnya dari arah kanan dan kiri halaman ruko, aku nggak menjamin. Soalnya beberapa tetangga memasang atap teras. Maklum tempatku bekerja adalah kawasan padat, di belakangku persis adalah Pasar Bestari Bintan Center.

Pasar basah ini pernah mendapatkan penghargaan sebagai salah satu pasar terbersih lho di Indonesia.

Tulisan berikutnya tunggu satu dua hari yah, aku harus ambil air wudu untuk salat Ashar yang sudah jelas terlambat dari waktu pasnya. (bersambung)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel