Tudung Saji Unik Memantik Rasa Lapar

tudung-saji-mantang

Tudung Saji Unik Memantik Rasa Lapar - Suatu ketika, saya mengikuti perjalanan seorang calon kepala daerah menjelang Pilkada Bintan. Kala itu saya berkeliling Pulau Dendun lalu ke Pulau Mantang. Paginya di Dendun, siangnya sampai malam di Mantang.

Nah di Mantang, saya lupa Mantang mana karena ada banyak Mantang. Maklum ini adalah sebuah kecamatan sehingga ada banyak desa. 

Perjalanan menggunakan sepeda motor membuat tubuh rasanya capek. Apalagi jalannya tentu saja seperti aspal di kota. Malahan ada jalan yang benar-benar membuat kami semua satu rombongan serasa menari di atas jok sepeda motor.

Kami sudah diperingatkan oleh warga, bakal melewati jalan yang cukup parah. Kondisi jalan ini pula yang sempat dicurhatkan beberapa warga kepada calon kepala daerah yang saya ikuti perjalanannya.

"Dari saya kecil sampai saya punya anak kecil jalannya seperti itu terus," ungkap seorang perempuan muda sambil menggendong anaknya.

Lalu calon kepala daerah menjawab sambil berseloroh, "Untung tak lahir di tengah jalan bayinya."

Semua percakapan benar-benar menggunakan bahasa Melayu yang sangat khas. Berbeda dengan di Tanjungpinang, sudah mengalami perbedaan.

Kalau Anda suatu ketika diajak tim sukses salah satu calon kepala daerah, ikuti saja. Nggak perlu khawatir, soal makan tidak akan pernah kekurangan. Jadi makan di sebuah rumah tokoh warga pendukung calon, menunya berbeda. 

Di kampung lain sajian untuk kita juga berbeda. Namun ada satu jamuan makan yang masih teringat sampai tulisan ini saya buat. Padahal Pilkada sudah berlalu sekian bulan. Mohon jangan ditanyakan mengapa saya baru menulisnya sekarang?

Karena saya memelihara banyak blog. Kadang semangatnya memuncak ketika mengerjakan konten yang sedang enak dinikmati. Sehingga blog lainnya terbengkalai. 

Saya sama sekali tak menyangka. Rumah warga yang menyediakan sajian khas Melayu berada beberapa meter dari masjid kampung. Rumahnya ada di tanah yang lebih tinggi sehingga harus menaiki tangga.

Di depan rumah adalah lapangan kampung. Tenda dan kursi sudah disiapkan tim sukses. Sound systemnya sudah dicoba, dicarikan setelan yang paling pas agar saat kampanye terdengar oleh seluruh warga yang hadir.

Agak belakangan sebenarnya saya masuk ke ruangan rumah yang berukuran cukup besar itu. Sudah ada bebarapa tudung saji menutupi makanan yang tersembunyi di dalamnya. Bentuk tudung sajinya sudah sangat menarik bagi saya.

Saya tiba-tiba menjadi orang yang paling merasa nggak pede karena tak tahu banyak hal. Bentuk tudung sajinya mirip dengan caping atau penutup kepala yang sering dikenakan para petani di desa saya di Jawa sana.

Ketika doa selesai dibaca, saatnya untuk bersantap. Tudung saja di depan saya dibuka dan weh.... ada masakan ikan, sotong, sambal dan buah. Sementara tudung saji lainnya menutupi nasi putih yang ditaruh di bakul.

Bakul nasinya hanya baksom plastik berwarna abu-abu, rasanya agak kurang sip suasana di kampung berpadu dengan baksom plastik. Bayangan saya bakul nasiknya terbuat dari anyaman bambu. Nasinya berwarna putih, dengan aroma yang menggugah selera. Dan ada lapan berupa mentimun di sana.

Saya kurang tahu pasti, apakah tudung sajinya dibuat dari anyaman bambu atau material lain. Soalnya berwarna-warni, seperti pada tas anyaman dari plastik.

Kenyang, itulah yang disampaikan perut saya. Rupanya selera masakannya mengalahkan pertahanan saya dan selanjutnya saya merasakan gurihnya daging sotong yang dimasak agak pedas.

Sambalnya huemhmmmmmmmm, bumbune pas banget. Eit, kalau masakannya enak hanya versi saya, nyatanya yang lain juga makan dengan lahap. Saya bukan tipa orang yang suka makan nambah-nambah, namun malam itu tambah lagi cuy...

Ternyata benar, berawal dari penampilan tudung saji yang unik, akhirnya menggugah rasa untuk bersantap. ***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel